Jumat, 29 Oktober 2010

Ibnu Hajar Al-Asqalani : Ulama Terdepan dalam Bidang Hadist

Para santri di pondok pesantren tentu tak asing dengan nama Ibnu Hajar al-Asqalani. Pasalnya, ulama ini mengarang sejumlah kitab yang senantiasa dijadikan referensi dan dipelajari di pondok pesantren. Kitab yang dikarangnya antara lain Fath al-Bari, Bulugh al-Maram, tahdzib al-tahdzib dan lainnya.

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Kinani al-Asqalani. Namun ia lebih dikenal dengan Ibnu Hajar al-Asqalani. Semasa Hidupnya, ia dikenal sebagai seorang ahli hadist. Karyanya yang berjudul Fath al-Bari (kemenangan Sang Pencipta) merupakan sayarah (penjelas atau komentar) atas kitab sahihnya Imam Bukhari. Oleh banyak ulama, karya Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut disepakati sebagai kitab penjelasan yang paling detail yang pernah dibuat.

Ibnu Hajar dilahirkan pada tahun 773 Hijriyah dan wafat pada tahun 852 hijriyah. Mengenai tempat kelahirannya, ada beberapa pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa ia lahir di kota Asqalan, Palestina. Versi lain menyebutkan menyebutkan bahwa ia lahir, besar dan meninggal dunia di Mesir.


Ibnu Hajar digambarkan sabagai sosok yang mempunyai tinggi badan sedang, berkulit putih, muka bercahaya dan berseri-seri, bnetuk tubuh indah, lebat jenggotnya, serta pendek kumisnya. Dia juga memiliki pendengaran dan penglihatan yang sangat baik. Giginya tampak kuat dan utuh serta mempunyai fisik yang kekar dan kuat. Disamping itu juga ia dikenal sangat fasih dalam berbicara, lirih suaranya, cerdas ungkapannya, pandai strateginya dan pintar dalam bersyair.

Dalam buku 60 Biografi Ulama Salaf karya Syekh Ahmad Farid, disebutkan bahwa Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu. Ayahnya meninggal duniaketika ia berumur 4 tahun dan ibunyameninggal dunia ketika ia masih balita. Seoeninggal kedua orang tuanya, ia diasuh oleh kakak tertuanya, Az-Zaki al-Kharubi. Ketika sang kakak memutuskan berhijrah ke Makkah, Ibnu hajar turut serta. Saat bermukim di tanah suci, Ibnu Hjar dimasukkan ke al-Maktab (sekolah khusus untuk belajar dan menghafal al-Quran). Ia saat itu baru menginjak usia 5 tahun. Salah seorang gurunya di al-maktab adalah Syamsuddin bin al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir. Guru lainnya adalah Syamsuddin al-Athurusy. Akan tetapi, saat menimba ilmu di al-Maktab, Ibnu Hajar belum berhasil menghafal al-Quran. Kemudian ia belajar oleh seorang fakih (ahli fikih) dan pengajar sejati yaitu Shadrudin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi al-Muqri. Kepada ulama inilah, Ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan al-Quran ketika berumur 9 tahun. Ketika berusia 12 tahun, ia ditunjuk sebagai imam shalat tarawih di Masjidil Haram. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 785 Hijriyah. Ketika sang kakak pindah ke Mesir pada tahun 786 Hijriyah, Ibnu Hajar juga turut serta. Di Mesir, Ibnu Hajar benar-benar berusaha belajar. Dia mengahafal beberapa kitab diantaranya kitab al-Hawi karangan al-Mawardi dan kitab Mukhtasar karangan Ibnu Hajib. Kendati sudah menimba ilmu di banyak tempat, Ibnu Hajar belum merasa puas denga ilmu yang telah diperolehnya. Ia kemudian memutuskan berguru kepada al-Hafizh al-Iraqi, seorang Syekh besar yang terkenal sebagai ahli fikih dari mazhab Syafii. Selain menguasai fikih juga menguasai ilmu tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama10 tahun. Dalam masa itu, Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam, Yaman dan Hijaz. Dibawah bimbingan Syekh al-Hafizh, Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi seorang pertama yang diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan hadist. Setelah sang guru wafat, Ibnu Hajar belajar dengan Nuruddin al-Haitsami dan Imam Muhibbudin Muhammad bin Yahya bin al-Wahdawaih. Melihat keseriusannya dalam mempelajari hadist, gurunya ini memberi saran kepada Ibnu Hajar agar mempelajari ilmu fikih. Sebab seorang guru beralasan bahwa ulama di daerah tersebut akan habis sehingga keberadaan Ibnu Hajar amat diperlukan sebagai penerus ulama setempat. Menjadi qadi Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, Ibnu Hajar memutuskan untuk kembali ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Selama bermukim di Mesir, ia tercatat pernah menjadi qadi (hakim) selama kurang lebih 21 tahun. Beliau adalah seorang hakim yang menganut mazhab Syafii. Selain itu, Ibnu Hajar juga menjadi Syekh dari para guru hadistdan mengajarkan ilmu fikih di beberapa tempat di negeri Mesir. Ia juga kerap dimintanaik mimbarsebagai khatib di masjid Amru bin Ash dan masjid al-Azhar. Ibnu Hjar mengundurkan diri dari jabatannyasebagai seorang qadi begitu terpilih untuk yang keenam kalinya pada tahun 852 Hijriyah. Tak lama berselang ia jatuh sakit di rumahnya. Ketika tengah sakit hingga membawanya kepada kematian, Ibnu Hajar berkata, "Ya Allah, Bolehlah Engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah Engaku tidak memberikanku pengampunan." Pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah berselang 2 jam setelah shalat Isya, orang-orang dan sahabatnya berkerumun di dekat Ibnu Hajar untuk mebcakan surat Yasin. Ketika sampai pada ayat ke-58, keluarlah roh dari jasadnya. Berita wafatnya sang ulamaini menimbulkan luka yang mendlam dari warga. Mereka menganggap hari itu merupakan hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non-Muslim pun ikut meratapi wafatnya Ibnu Hajar. Pada hari itu, pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua pembesar datang melayat. Sumber: Koran Republika, terbit hari Ahad, 29 Agustus 2010. Ditulis oleh Nadia Zuraya.

Ditulis Oleh : Jainudin Al Batawy // 10/29/2010 03:10:00 PM
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Site Info



Free Page Rank Tool

Komen Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.